28Oct07
(dari pikiran-rakyat.com)
Berbagai jenis kesenian tradisional asli Sunda khususnya seni Sunda buhun nyaris punah akibat banyak ditinggalkan masyarakatnya sendiri. Sebagai seni yang menjadi kekayaan budaya lokal, seni Sunda buhun terus kehilangan penerusnya akibat para pelaku seninya kurang mendapat tempat dan dihargai publik, serta terdesak seni pop modern yang dianggap lebih menarik.
Guru Besar Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia, Prof. Dr. Yus Rusyana mengatakan, kondisi tradisional Sunda buhun saat ini secara berangsur mulai menghilang. “Dewasa ini generasi muda lebih menyenangi seni yang datangnya dari luar dibandingkan kesenian asli milik bangsa sendiri,” ujarnya, dalam acara Rembuk Tokoh Sunda, Menggali Akar Budaya Sunda Buhun, Senin (14/3) di Aula Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, Jalan R.E. Martadinata 209 Bandung.
Acara itu dihadiri sejumlah tokoh seni dan budayawan Sunda, seperti Prof. Saini KM, Prof. Dr. Karna Yudibrata, Dra. Hj. Popong Otje Djunjunan, Nano S., Euis Suhaenah M. Hum, dan Pengurus PB Pusat Pasundan Daum.
Kang Yus –demikian Yus Rusyana akrab disapa– menegaskan bahwa saat ini seni budaya Sunda terus mengalami pergeseran. Bahkan seni Sunda buhun yang merupakan seni leluhur sudah sulit ditemui. Padahal, seni budaya Sunda buhun dikenal sangat kaya nilai. Mulai dari hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan mausia lain, hingga hubungan manusia dengan alamnya.
Untuk itu, Yus sangat mendukung berbagai upaya pelestarian seni budaya Sunda. “Jika tidak diantisipasi dengan langkah-langkah pelestarian, kekayaan tradisi tersebut akan tinggal menjadi sejarah,” ujarnya.
Sementara Dra. Hj. Popong Otje Djundjunan mengatakan, untuk membangkitkan gairah para pelaku seni budaya Sunda buhun perlu diberikan semacam rangsangan. “Selama ini penghargaan terhadap pelaku seni sangat jarang, padahal para seniman tidak meminta imbalan berupa materi terhadap upayanya melestarikan seni turun temurun. Mereka hanya ingin ada semacam pengakuan dari pemerintah,” ujarnya.
Seni budaya Sunda buhun semakin ditinggalkan masyarakat karena dinilai monoton sehingga tidak memiliki daya jual yang menarik. Kondisi itu diperparah oleh tidak adanya dukungan publik dan modal dari pemerintah sehingga jarang bisa ditampilkan lagi di tengah masyarakat.
Untuk melestarikan seni budaya sunda buhun yang terus menghilang, Ny. Popong mengusulkan agar diselenggarakan kegiatan semacam ekshibisi atau tontonan secara resmi. Seni yang digelar tidak hanya berupa seni ibing (gerak–red.) tetapi juga seni tabeuh (pukul), maupun seni sora (suara).
Selain itu untuk menentukan bahwa seni tersebut merupakan seni Sunda buhun perlu ditetapkan kriteria. “Untuk menentukannya saat ini sangat sulit karena seni Sunda sudah banyak mengadopsi seni dari luar,” ujarnya.
Hal senada dikatakan seniman, budayawan dan guru seni di STSI Bandung, Nano S.. Ia mengatakan, seniman Sunda buhun dewasa ini sangat tidak dihargai lagi, tidak saja oleh masyarakatnya sendiri tetapi juga oleh pemerintah. “Kalau memang masih mendapat tempat, bila sedang pentas pasti akan ditonton. Pemerintah daerah pun sering menganggap para seniman itu menjadi beban,” ujarnya.
Dikatakan Nano, dalam beberapa tahun kebelakang seni budaya Sunda buhun dapat dipastikan akan menjadi barang kuno bila tidak segera dilestarikan dan dikembangkan kembali. “Untuk itu kiranya dalam memahami seni budaya Sunda buhun tidak dikaitkan dengan akidah atau agama yang selama ini sering menjadi pagar antara boleh dan tidak,” ujar Nano.